Ancaman Pluralisme-Sekularisme Bagi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama

Wacana tentang pluralisme pada umumnya, dan pluralisme agama khususnya, secara otomatis dan tak terhindarkan harus bersinggungan dengan masalah hak asask manusia (HAM). Sebab secara ontologis, pluralisme tak mungkin eksis tanpa adanya satuan-satuan/individu-individu atau masyarakat atau kelompok yang beragam yang bernaung di bawahnya dan masing-masing menikmati hak-hak asasinya secara penuh. Namun sudah menjadi jamak berlaku, bahwa justru sistem ini selalu rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM, kelompok minoritas khususnya dan juga minoritas agama, baik oleh pemerintah yang sedang berkuasa atau pihak mayoritas. Dari sini, para pengkaji dan peneliti selalu mengaitkan wacana pluralisme dengan masalah HAM.

Jika kita cermati kondisi hak asasi manusia di bawah tatanan pluralisme berada dalam ancaman yang sangat serius baik pada level teoritis maupun praktis. HAM di sini dimaksudkan secara khusus apa yang di kalangan para ahli dikenal dengan hak yang tak mungkin dinafikan (inalienable) dalam kondisi yang bagaimanapun. Yakni suatu hak yang dapat dinikmati oleh manusia hanya karena ia dilahirkan sebagai manusia, dan tanpa hak-hak itu eksisten kehidupannya berkurang, atau bahkan tidak manusiawi sama sekali.

Harus diakui bahwa tidak ada kebebasan yang benar-benar mutlak, mengingat kebebasan individu atau kelompok berhenti pada suatu titik di mana individu atau kelompok yang lain memulai kebebasannya. Di mana jika dipaksakan akan berbenturan dan timbul chaos. Fakta empiris menunjukkan secara gamblang dan meyakinkan bahwa minoritas keagamaan yang hidup di bawah naungan sistem pluralisme senantiasa mengalami masalah perlakuan diskriminatif yang mengahalangi kebebabasan mereka untuk mengekspresikan jatidiri dan identitas keagamaan, melakukan kewajiban ritual, dan memerolah hak persamaan di depan undang-undang dan hukum. Misalnya mengenakan hijab bagi muslimah di sekolah negeri dan tempat kerja umum.

Pluralisme agama telah mereduksi pengalaman beragama kelompok minoritas, sehingga pilihannya adalah melepas jati diri atau menghadapi alienasi sosial. Keharusan memilih dari dilema inilah yang merupakan harga sebuah kebebasan beragama yang harus dibayar oleh kelompok minoritas agama. Jargon kebebasan beragama yang diusung pluralisme-liberalisme hanyalah sebatas kebebasan berkeyakinan dan beribadah dalam arti yang sempit, tanpa kebebasan mempraktikkan agama dalam ruang publik.

Lantas apa nilainya sebuah keyakinan atau keimanan tanpa bisa mempraktikkannya? Tentu saja iman yang terlemah, tetapi memang kualitas iman yang beginilah yang selaras dan sejalan dengan ide-ide pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama. Dijajakan dan dipaksakan oleh Barat dengan berbagai macam cara dan sarana, tidak saja kepada komunitas-komunitas lokal, tetapi juga kepada seluruh bangsa sehingga menambah panjang pelanggaran HAM.

Semua itu akhirnya mengingatkan kita pada sebuah fakta keberpihakan, bahwa sejatinya HAM sebagai satu nilai moral tidaklah independen, akan tetapi mempunyai dasar pijakan yang dalam hal ini berdasarkan pada nilai moral ala Barat. Di sisi lain Islam pun mempunyai konsep tentang hak asasi manusia yang oleh karena pluralisme liberalisme ini menjadi termarjinalkan. Dalam masalah HAM terdapat satu problem teoretis epistemologis yang sangat krusial, sehingga untuk mencapai suatu konsep yang disepakati bersama merupakan sesuatu yang mustahil. Namun meski demikian, satu hal yang sangat jelas adalah, konsep Barat tentang HAM bersumber dari pemikiran sekularisme dan sisa-sisa etika Kristiani di era Renaissance Eropa. Pertanyaannya adalah tentu pengalaman itu sangat tidak cocok apabila diglobalisasikan kepada bangsa atau agama lain. Dan lagi jika inti daripada HAM yakni menekankan kebebasan individu, mengapa manusia tidak dibiarkan bebas menggunakan haknya untuk tidak menerima pluralisme agama?

Dalam Islam terdapat konsep bagaimana hak-hak asasi manusia bagi kelompok minoritas sama sekali tidak diabaikan. Terlebih jika kelompok-kelompok minoritas ini hidup dalam masyarakat Islami, yakni kelompok yang disebut ahlul dzimmah. Dalam pemikiran politik syari’ah Islam, ahlul dzimmah dianggap sebagai bagian dari penduduk Negara Islam. Dengan demikian mereka ini mendapatkan apa yang di zaman kita sekarang disebut sebagai status kewarganegaraan secara politis. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh agama apapun.

Hak-hak ahlul dzimmah atau non muslim yang hidup di negara Islam adalah mendapatkan status dan perlakuan spesial sejauh tidak melanggar perjanjian yang disepakati dengan kaum muslim, yakni membayar jizyah dan menaati aturan-aturan Islam yang bersifat umum yang tidak berkenaan dengan urusan keagamaan. Secara umum dikatakan bahwa hak Ahlul dzimmah sama dengan apa yang diperoleh penduduk Muslim. Hanya dalam masalah tertentu yang menyangkut keamanan negara Islam saja, maka ahlul dzimmah sedikit terbatasi.

Mereka ahlul dzimmah harus dilindungi dari segala bentuk ancaman dan kezaliman yang menyangkut jiwa, raga, harta, kehormatan, dan keyakinan agama mereka. Karena dzimmah berarti tanggungan. Bahkan jika ada negara yang pemerintahnya non-muslim membantai penduduknya yang muslim, maka pemerintah dalam negara Islam tidak dibenarkan melakukan balas dendam dengan membantai penduduknya yang dzimmah.

Ahlul dzimmah juga menikmati kebebasan berkeyakinan dan beragama serta mengekspresikan jatidiri keagamaan atau menjalankan agamanya secara riil pada ranah privat dan publik. Kemudian mereka juga bebas merayakan hari raya keagamaan seperti membunyikan lonceng gereja dalam upacara atau ritual keagamaan, sebagaimana dicontohkan Khalid Ibn Walid terhadap penduduk al-Hirah, Anat, dan Qarqisa.

Ahlul dzimmah diperbolehkan membangun tempat-tempat ibadah bagi mereka selama tidak berada di dalam kawasan atau wilayah yang dihuni muslim. Bahkan Yusuf al-Qardhawi justru membolehkan pembangunan tempat-tempat ibadah umat non-muslim di wilayah muslim jika mendapatkan izin dari pemerintah. Selain itu mereka juga mendapatkan hak untuk menjaga kelangsungan agama mereka, maka dari itu pemerintah harus menyediakan lembaga pendidikan yang mengajarkan pendidikan sesuai dengan tuntunan agama-agama mereka. Sedangkan di mata hukum, ahlul dzimmah mendapatkan hak untuk mendirikan sistem peradilan khusus atau otonomi untuk menyelesaikan kasus-kasus khusus mereka. Hal tersebut dicontohkan oleh Nabi ketika beliau memberikan klan-klan Yahudi untuk menyelesaikan urusan mereka sendiri dalam bidang hukum dan penyelesaian sengketa tanpa harus mengikuti sistem peradilan Islam yang diterapkan di dalam negara Madinah.

Meski demikian mereka tetap mempunyai hak untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka di mahkamah syari’ah jika mereka menghendaki. Inilah kondisi pluralitas hukum yang benar-benar dipraktikkan dalam pemerintah Islam terhadap para ahlul dzimmah.

Sementara anggapan bahwa ahlul dzimmah adalah warga negara kelas dua merupakan tuduhan yang sangat tidak fair. Lantas mengapa tuduhan ini dilancarkan? Hal ini dikarenakan bahwa ketiadaan kesempatan bagi para ahlul dzimmah untuk menempati pos-pos penting pemerintahan yang merupakan tempat pengambilan keputusan umum negara. Dalam hal ini terdapat beberapa penjelasan:

Pertama, negara wajib memelihara ideologinya. Oleh karena ideologi negara Islam adalah Islam, maka sangat tidak masuk akal apabila kewajiban ini dipercayakan kepada orang yang tidak beragama Islam dan tidak mengimani agama ini. Kedua, pemimpin negara Islam mencakup kepemimpinan agama dan dunia yang menggantikan kepemimpinan Nabi (khalifaturrasul). Maka dalam hal ini tidak boleh ditempati oleh seseorang selain muslim.

Lalu di mana pos-pos jabatan publik yang diperbolehkan ahlul dzimmah untuk menjabatnya?

al-Mawardi mengatakan dalam Ahkam al-Sulthaaniyyah, bahwa ahlul dzimmah diperbolehkan memegang jabatan menteri, pegawai negeri, hakim otonomi khusus, dll. Demikianlah bagaimana Islam sangat adil dan benar-benar membebaskan umat manusia.